Ih, anak rumahan!
Demikian sahabat kiri kananku umumnya memanggilku.
Tak salah. Ini alasannya :
Sejak kecil, menyendiri di atas kasur dengan buku bertumpuk di samping bantal adalah kebiasaanku. 
Membaca, mengerjakan PR, dan membaca lagi, hingga aku tertidur.
Bahkan ketika sakit, membaca adalah obatku. *Poof* aku pun sembuh hari itu.
Aneh ga? Mudah-mudahan engga juga.
Tak jarang ayahku yang sudah tahu kebiasaanku, sering membawakanku buku bacaan baru. 
Sebutlah RPAL, RPUL, Kamus Kedokteran, Novel Narnia, Bobo, dan lainnya, yang kau namai itu.
Hanya senyum sumringah yang mampu kubalas bagiku ayahku.
Kebahagiaanku itu bak melihat harta karun tepat di depan mataku.

Ku baca berulang, ku ingat-ingat, hingga kujadikan tanya jawab dengan teman.
Ingat masa-masa pelajaran SD & RPUL mu? 

"Apa nama negara terluas ke-4 di dunia? Amerika Serikat"
"Apa mata yang negara Jepang? Yen"
"Apa nama gunung tertinggi di dunia? Gunung Everest"

Di kelasku, sebelum pulang sekolah, setiap anak harus menjawab satu pertanyaan yang dilemparkan guru. Sumbernya? RPUL. Maka ga heran juga, kami generasi yang hapal banyak fakta dan sejarah. Meskipun kalau ditanya lagi kini, jawabannya lupa :D
Oops, ini generasiku, atau kebetulan juga hanya terjadi di sekolahku?

Yah, aku lah si anak rumahan.
Selain membaca, menonton tv jadi hiburan yang fun di sela waktuku.
Selain tayangan kartun beruntun di hari Minggu, tak jarang akupun menonton berita atau acara jalan-jalan versi televisi.
Mulai dari membahas keindahan Sabang sampai Merauke, kekayaan Raja Ampat dan isinya, kemegahan Eiffel Tower di Prancis, serta bahasan Australia, Afrika, Eropa hingga Amerika, juga tidak ketinggalan topiknya.

Aku si anak rumahan, tak pernah berimajinasi jauh akan tayangan yang masuk ke dalam isi otakku.
Aku hanya berani berharap ciut agar aku diberikan kesempatan oleh Yang Maha Kuasa.
Siapa menyangka pada akhirnya, aku, kini yang sedang menuliskan perjalananku,
ingin menuliskan kesaksian bahwa aku telah diperbolehkan menginjakkan kakiku di berbagai kota dan negara yang kudamba. Berdiri di kaki menara Eiffel Paris, berfoto di depan patung Liberty New York, menyaksikan keindahan Gunung Everest Himalaya dari atas ketinggian pesawat, berlayar melintasi Kep. Raja Ampat, snorkeling dg ikan-ikan di Bunaken, dsb.
Semua, lagi, hanya karena kebaikanNya.

Lalu bagaimana semua petualangan itu dimulai?

Apakah dengan menjadi pramugari? Tidak salah. Namun, tunggu dulu.

Semuanya tidak berawal dari pekerjaan idaman bagi banyak orang ini.

Jika untuk bertualang anda harus menunggu menjadi pramugara/i, anda akan membuang banyak waktu dan kesempatan yang anda bisa mulai untuk mengitari bumi yang luas ini.

Caranya? Mudah. Mulailah dengan mengenali keindahan kota yang kamu tinggali.
Si anak rumahan ini seiring beranjak remaja, memberanikan diri untuk berkeliling di kota sendiri.
Thanks to Transjakarta! Perjalanan dari Utara ke Selatan, Barat ke Timur memberikan akses kemudahan tersendiri. Mengunjungi Monumen Nasional, Museum Bahari, Kantor Gubernur, Kedutaan Besar Amerika, Monumen Pancasila Sakti, Kebun Binatang Ragunan, Kantor Radio Republik Indonesia, Kantor WWF, semua saya jabani. Rasa keingintahuan yang tak berujung, mengantarkan saya dari satu tempat ke tempat berikutnya. Satu hal yang pasti, bertualang di kota sendiri pun tidak akan habis dalam sehari.

Kaki kita tidak dirancang untuk berdiam diri.
Mengapa tidak mulai dari hal yang terkecil sebelum kau terkejut betapa kakimu mampu membawamu ke tempat impianmu!

Sesungguhnya jarak itu hanya sejauh doa dan usahamu.

Bersambung...