Malam ini bagiku adalah malam yang spontan untuk menulis.
Mungkin tepatnya harus kusebut pagi, karena waktu sudah menunjukkan pukul 00:37 (UTC+3) dikala aku memutuskan untuk tidak hanya berdoa, namun berbuat sesuatu bagiNya.
Merenungkan kebaikan Tuhan dan menjadikannya kenangan manis.

Sebelum menuliskan keindahan dalam mengenalNya, izinkanku untuk berbagi pengalaman dalam mencariNya.
Sebagai seorang yang mempercayai eksistensi Tuhan, keberagaman agama menjadi suatu tantangan tersendiri untuk mengikuti satu kepercayaan di antara banyaknya pilihan.
Pilihan keluarga, adat, dan budaya yang telah dipercaya sejak lahir akan juga menjadi faktor paling mempengaruhi keputusan dan kepercayaan seseorang.
Hal yang tidak dapat dipungkiri, terjadi padaku.

Terlahir di keluarga dengan agama dan kebudayaan keturunan Tionghoa yang kental, membuatku harus mengikuti kepercayaan pilihan keluarga. Rasanya tidak perlu diungkap apapun kepercayaan kami masa itu. Kami pada akhirnya telah melihat kuasa Tuhan sendiri yang membukakan mata kami bahwa bukan agama yang membuat kami percaya kepadaNya, namun DiriNya sendiri yang selalu ada untuk kami.

Kembali ke masa itu.
Awalnya siapapun mengenalku sebagai sosok yang rajin dan taat beribadah.
Semua bukan tanpa sebab, namun demi menyenangkan hati orang tua.
Usia remaja menjadi gejolak yang mempertanyakan eksistensi dan kebenaran agama yang dianut keluarga.
Pertanyaan demi pertanyaan bukan jawaban yang diperoleh, namun anggapan ketidak-santunan.

Tidak sedikit ilmu yang kupelajari, buku yang dibaca, pendapat yang didengar, tempat ibadah yang didatangi, untuk mencariNya.
Aku mencari mendapat hasil yang tidak aku mengerti. Aku berhenti. Tidak menghadiri ibadah agama manapun.
Aku tahu Tuhan ada, aku ingin Tuhan membuktikan eksistensiNya sebelum aku mampu setia.
Manusia tidak setia, tetapi Tuhan selalu setia.
IA panjang sabar dan buktikan kebesaranNya padaku.

Bukan waktu yang singkat, btw.
Aku sempat menjalani hari tanpa mengakui keberadaan Tuhan.
Tidak berdoa. Begitu percaya diri. Yakin dan mampu mengatasi semua persoalan sendiri (kala itu).
Tinggi hati boleh menjadi deskripsi diri ini yang lampau, semoga tidak dengan hari ini.
Mendapatkan nilai baik di masa studi contohnya, adalah hasil kerja kerasku.
Aku belajar dengan sungguh-sungguh dan tidak ingin mengecewakan diri.
Tanpaku menyadari bahwa semua karena penyertaanNya.

Kemudian hal yang tak mengenakkan terjadi padaku.
Ayahku sakit, bukan sekedar sakit.
Hidupnya kala itu dianggap tidak lama.
Aku hancur. Aku takut.
Aku tidak ingin Ayah pergi begitu cepat.
Terlalu muda bagiku menjadi seorang piatu.
Saat itu 19 usiaku.

Aku menangis setiap malam.
Aku kebingungan.
Aku gemetar.
Aku butuh penolong.
Bagaimanakah kelanjutan ini semua?
Aku tidak tahu (saat itu).

Aku mulai merendahkan diriku. Ku mencari Dia.
Dia yang orang sembah.
Dia yang banyak orang percaya.
Aku datangi persekutuan ibadah satu persatu.
Tak kenal aku satu orang pun di tempat itu.
Ku ceritakan masalahku.
Mereka berdoa,
bagiku, ayahku, kesembuhannya.

Imanku bangkit.
Aku ingin mempercayai, IA Tuhan yang nyata.
Kesembuhan belum kunjung terjadi.
Satu bulan sudah.
Ulang tahunku tak lama tiba.
Pintaku padaNya, buatlah papaku sembuh.

Rekan, teman, sahabat, sanak saudara kian mengunjungi.
Tidak tanggung, mereka berdoa mengelilingi ayahku, untuk kesembuhan yang ajaib terjadi.
Mereka bernyanyi, memberi semangat, kekuatan, dan tentu mengingatkan akan pentingnya menaruh harapan pada Tuhan.
Kami sekeluarga yang berbeda betul keyakinan dari mereka seakan sulit mempercayai terutama Ibuku, ketika mereka berdoa bagi ayahku.
Belum ada kesembuhan,
namun besar harapanku.
Hingga pada suatu malam, ia sulit bernapas, ia terlihat begitu menderita.
Ibuku meminta kami semua anaknya bersiap diri.
Aku tidak siap dan tidak mau siap.
Aku menangis, berdoa sendiri,
"Tuhan, jika Engkau ada dan nyata, tunjukkan padaku dan kuberikan seluruh hidupku".
Aku lelah hingga terlelap.

Esok paginya, aku mandi dan bersiap untuk kuliah.
Usai beres-beres, ku lihat ayahku lahap sarapan pagi.
Sangat tidak biasa.
Sudah lama ia tidak bisa menelan makanan, bagaimana mungkin pagi ini bisa makan sendiri.
Ia begitu lahap seperti belum makan berbulan-bulan.
Dan memang ia kesulitan makan selama berbulan-bulan, akibat sakitnya.
Aku sedang buru-buru karena jarak menuju kampus begitu jauh dari rumah.
Aku melihat dengan heran, dan terus mengernyitkan dahi selama perjalanan menuju kampus.

Semakin hari, semakin membaik keadaannya (ayahku).
Ia yang kurus malang akibat sakitnya, beroleh berat badan kembali.
Ia didiagnosa dokter dan para spesialist sembuh, ajaib.
Saya tersenyum. Lebar.
Ayahku makin hari, makin pulih.
Heran? Aku pun demikian.
Bagaimana mungkin? Mungkin benar tidak ada yang mustahil, bagi Tuhan.
Disitulah pula Ibu dan Ayahku harus menghadapi gejolak iman, kepercayaan yang selama ini mereka ketahui dengan kepercayaan yang mendoakan kami, yang telah terbukti.
Tak sampai situ saja, Ayahku bersaksi kesembuhannya terjadi karena malam hampir dirinya dipanggil, ia melihat cahaya putih begitu terang yang memberikannya kesembuhan, tentu saja siapa lagi kalau bukan, Tuhan.

IA sungguh mendengar doa kami.
Doaku juga secara pribadi.
Janji yang ku lantunkan harus kutepati.
Sejak saatnya, aku tak berani tak akui diriNya, Yang Maha Esa.
Kami yang kini, telah menemukan eksistensiNya, tanpa menerka-nerka.
Karena semua tak hanya sampai di kesembuhan Ayahku saja.
Pengalaman manis denganNya terus dicurahkan.
Keluarga kami semakin harmonis, jauh dari sifat yang dulu pemarah tanpa sebab (sekarang mungkin masih marah, tetapi sangat jauh berkurang dan oleh sebab :p)
Kami belajar bersyukur dan bersukacita.
Banyak proses yang kami sekeluarga alami, baik berat dan ringan, namun berkat dariNya pun tak kurang, tak terhitung jumlahnya.

Mencari Tuhan terdengar bagai sebuah petualangan.
Mencari Tuhan boleh jadi bukan kata yang tepat pula. 
Karena sesungguhnya IA lah yang mencariku, mengejarku, dan inginku kembali padaNya.
Agar ku tahu bahwa aku bukanlah siapa-siapa,
tanpa NYA.




Ucapan terima kasih teruntuk

GKKD JakUt
QAHAL FAMILY
SERIBU KASIH
LOJF Indonesia, CareGroup
dan seluruh rekan sahabat yang terlibat
menjadi saksi kebaikan Tuhan dan berkat
bagi keluarga kami.







Ih, anak rumahan!
Demikian sahabat kiri kananku umumnya memanggilku.
Tak salah. Ini alasannya :
Sejak kecil, menyendiri di atas kasur dengan buku bertumpuk di samping bantal adalah kebiasaanku. 
Membaca, mengerjakan PR, dan membaca lagi, hingga aku tertidur.
Bahkan ketika sakit, membaca adalah obatku. *Poof* aku pun sembuh hari itu.
Aneh ga? Mudah-mudahan engga juga.
Tak jarang ayahku yang sudah tahu kebiasaanku, sering membawakanku buku bacaan baru. 
Sebutlah RPAL, RPUL, Kamus Kedokteran, Novel Narnia, Bobo, dan lainnya, yang kau namai itu.
Hanya senyum sumringah yang mampu kubalas bagiku ayahku.
Kebahagiaanku itu bak melihat harta karun tepat di depan mataku.

Ku baca berulang, ku ingat-ingat, hingga kujadikan tanya jawab dengan teman.
Ingat masa-masa pelajaran SD & RPUL mu? 

"Apa nama negara terluas ke-4 di dunia? Amerika Serikat"
"Apa mata yang negara Jepang? Yen"
"Apa nama gunung tertinggi di dunia? Gunung Everest"

Di kelasku, sebelum pulang sekolah, setiap anak harus menjawab satu pertanyaan yang dilemparkan guru. Sumbernya? RPUL. Maka ga heran juga, kami generasi yang hapal banyak fakta dan sejarah. Meskipun kalau ditanya lagi kini, jawabannya lupa :D
Oops, ini generasiku, atau kebetulan juga hanya terjadi di sekolahku?

Yah, aku lah si anak rumahan.
Selain membaca, menonton tv jadi hiburan yang fun di sela waktuku.
Selain tayangan kartun beruntun di hari Minggu, tak jarang akupun menonton berita atau acara jalan-jalan versi televisi.
Mulai dari membahas keindahan Sabang sampai Merauke, kekayaan Raja Ampat dan isinya, kemegahan Eiffel Tower di Prancis, serta bahasan Australia, Afrika, Eropa hingga Amerika, juga tidak ketinggalan topiknya.

Aku si anak rumahan, tak pernah berimajinasi jauh akan tayangan yang masuk ke dalam isi otakku.
Aku hanya berani berharap ciut agar aku diberikan kesempatan oleh Yang Maha Kuasa.
Siapa menyangka pada akhirnya, aku, kini yang sedang menuliskan perjalananku,
ingin menuliskan kesaksian bahwa aku telah diperbolehkan menginjakkan kakiku di berbagai kota dan negara yang kudamba. Berdiri di kaki menara Eiffel Paris, berfoto di depan patung Liberty New York, menyaksikan keindahan Gunung Everest Himalaya dari atas ketinggian pesawat, berlayar melintasi Kep. Raja Ampat, snorkeling dg ikan-ikan di Bunaken, dsb.
Semua, lagi, hanya karena kebaikanNya.

Lalu bagaimana semua petualangan itu dimulai?

Apakah dengan menjadi pramugari? Tidak salah. Namun, tunggu dulu.

Semuanya tidak berawal dari pekerjaan idaman bagi banyak orang ini.

Jika untuk bertualang anda harus menunggu menjadi pramugara/i, anda akan membuang banyak waktu dan kesempatan yang anda bisa mulai untuk mengitari bumi yang luas ini.

Caranya? Mudah. Mulailah dengan mengenali keindahan kota yang kamu tinggali.
Si anak rumahan ini seiring beranjak remaja, memberanikan diri untuk berkeliling di kota sendiri.
Thanks to Transjakarta! Perjalanan dari Utara ke Selatan, Barat ke Timur memberikan akses kemudahan tersendiri. Mengunjungi Monumen Nasional, Museum Bahari, Kantor Gubernur, Kedutaan Besar Amerika, Monumen Pancasila Sakti, Kebun Binatang Ragunan, Kantor Radio Republik Indonesia, Kantor WWF, semua saya jabani. Rasa keingintahuan yang tak berujung, mengantarkan saya dari satu tempat ke tempat berikutnya. Satu hal yang pasti, bertualang di kota sendiri pun tidak akan habis dalam sehari.

Kaki kita tidak dirancang untuk berdiam diri.
Mengapa tidak mulai dari hal yang terkecil sebelum kau terkejut betapa kakimu mampu membawamu ke tempat impianmu!

Sesungguhnya jarak itu hanya sejauh doa dan usahamu.

Bersambung...